Pengalaman Indah Saat Berhaji Di Tahun 1441 H.
Oleh: Drs. H. Agus Setiawan, M.Pd
Di Post Oleh: Herdian Wira Suganda Tanggal: 07/01/2022 Di Baca 825 kali

Pengalaman apa yang paling berkesan ketika melaksanakan ibadah haji ?

Pertanyaan tersebut sulit dijawab dengan hanya satu dua kalimat saja. Bisa jadi satu buku dihabiskan untuk bercerita. Tentu pengalaman tiap individu saat haji akan berbeda, pun pengalaman saya dan istri tidak sama meski kami sering bersama-sama ketika menjalankan ibadah haji. Spiritual dan perasaan yang tercipta hanya melibatkan makhluk tersebut dan Rabb-nya.
Kalau dibahas satu per satu mungkin inilah yang secara pribadi saya rasakan selama 40 hari berada di Madinah dan Mekah

1. Menjadi lebih mudah menangis ketika berdo’a dan shalat

Jujur biasanya saya hanya bisa menangis ketika shalat dan berdoa ketika sedang ada masalah dan merasa putus asa. Pada saat itulah saya jadi lebih ingat Allah dan meminta pertolonganNya. Memang senantiasa manusia seperti itu. Ketika senang lupa pada Tuhan dan ketika susah baru kembali bersujud meminta pada Tuhan. Apalagi biasanya ketika shalat saya kadang tidak khusyu, pikiran melayang pada berbagai ingatan. Kadang juga shalat jadi tidak tenang dan tergesa gesa karena harus cepat cepat melanjutkan pekerjaan.
Berbeda saat saya shalat dan berdoa di Masjid Nabawi maupun Masjidil Haram. Rasanya pikiran hanya berpusat pada shalat itu sendiri, pada bacaan shalat dan artinya, gerakannya, dinikmati satu persatu. Mendengar bacaan imam pun tanpa perlu usaha air mata rasanya sudah mengalir saja sendiri, apalagi kalau memahami arti surat yang dibacakan imam. Saking merdunya suara imam.

Saya menangis ketika mengingat dosa-dosa, mengingat bahwa hidup ini betul-betul fana, mengingat akhirat yang hakiki, mengingat mati, dan nanti dimanakah saya akan ditempatkan. Saat itu do’a utama saya simpel, hanya meminta diampuni dosa, diberikan husnul khatimah, dan dikumpulkan dengan seluruh keluarga saya di surga kelak agar pantas bertemu Allah, Rasulullah, para sahabat dan tabi’in.
Saya menangis karena merasa kecil, kecil sekali di hadapan Allah. Di antara banyaknya manusia shaleh dan shalehah di dunia ini, apalah saya ini. Begitu tingginya keimanan dan ketakwaan orang-orang terdahulu, apalah artinya saya? Di antara luasnya kebesaran Allah atas langit dan bumi, bahkan semesta kita tidak tahu seberapa besarnya, itupun masih saja kita lupa. Berharap hanya pada syafa’at dan ridha Allah.

Mungkin keadaan seperti ini dirasakan banyak jamaah haji karena situasi dan kondisi beribadah yang sangat kondusif sehingga segala sesuatunya lebih khusyu. Kita seperti lupa akan dunia dan hanya ingin beribadah saja.


2. Menjadi lebih menjaga diri, menahan diri, dari ucapan dan perbuatan sia-sia dan dosa

Rasanya semua yang ada dalam diri kita sangat dikontrol ketika di sana, terutama ketika sedang ihram. Pokoknya jangan sampai ada hal-hal yang melanggar larangan haji. Meskipun yang tahu tentu hanya diri sendiri. Di surat Al Baqarah 197 disebutkan bahwa dalam keadaan haji, maka seseorang tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Itu benar-benar dijaga. Kalau ada rasa kesal dan tidak sabar, banyak-banyak zikir dan istighfar, semoga tidak mengotori haji. Kalau ada hal-hal yang rasanya ingin dikomentari, ditahan jangan sampai jadi perkataan sia sia.

3. Menjadi lebih kuat daripada yang pernah kita bayangkan sebelumnya

Di sini saya merasa push myself beyond the limit. Kalau dipikir pakai logika, rasanya saya tidak akan mampu melewatinya, tapi dengan izin Allah semuanya terjalani juga. Hal ini tidak pernah terbayangkan sampai benar-benar ada di sana, terutama pada tempaan fisik ketika prosesi utama haji. Saat 5 hari puncak haji di Mina-Arafah-Muzdalifah, dengan rangkaian mabit, wukuf, lempar jumroh 4x (kami mengambil nafar tsani), dan tawaf-sai, fisik sangat terkuras.

Saat itu baru merasakan aktivitas jalan kaki yang paling panjang, sampai rasanya kaki saya sudah tidak berasa lagi, sampai rasanya kaki saya berjalan secara otomatis saja, tidak lagi digerakkan oleh sistem somatik tubuh, tapi sudah refleks saja berjalan terus. Sampai kembali ke kemah di Mina badan terasa remuk, tapi besoknya masih harus berjalan lagi dan beraktivitas seperti biasa.

Saat itu saya sampai mengingat ingat, masa-masa tersulit apa saja yang pernah saya alami selama hidup saya, untuk tetap menguatkan pikiran saya, bahwa masa sulit itu In syaa Allah akan berlalu. Masa-masa sulit tersebut tentunya tidak seberapa dengan apa yang mungkin dialami banyak orang lain di luar sana. Maka dari itu, saat di sana, pikiran saya mengirimkan sinyal-sinyal positif ke badan. Tempaan ini akan selesai, In syaa Allah.. apalagi ini dalam rangka beribadah.

4. Merasa dekat dengan kehidupan Rasulullah

Selama ini saya hanya membaca dan mendengar saja sirah Rasulullah, tanpa bisa membayangkan bagaimana kehidupan di zaman Rasul. Begitu melihat kota Mekah, Maa syaa Allah di sinilah Rasulullah dilahirkan, di sinilah Rasul pertama kali menerima wahyu dan kemudian menyampaikannya pada penduduk Mekah, di sinilah perjuangan Rasulullah selama 13 tahun menyebarkan Islam. Begitu melihat kota Madinah, Maa syaa Allah.. inilah kota kaum Anshar yang dengan tangan terbuka menyambut Rasulullah ketika hijrah. Di sinilah kota di mana Rasulullah meletakan dasar-dasar daulah Islamiyah. Di sinilah kota yang damai, di mana Rasulullah dapat mewujudkan tatanan masyarakat madani. Sejak saat hijrah itu pulalah mulai terjadi peperangan terbuka antara kaum muslimin dan kafir Quraisy.

Banyak momen yang membuat saya merinding bergetar. Ketika ziarah ke makam Rasulullah SAW, Abu Bakar Ash Shiddiq RA, dan Umar bin Khathab RA.. Assalaamu ‘alaika Yaa Rasulallaah wa rahmatullaahi wa barakaatuh. Assalaamu ‘alaika Yaa Abu Bakr Shiddiq. Assalamu ‘alaika Yaa ‘amiiral-mu’miniin, Umar ibnul-Khathab. Ketika ziarah ke makam para syuhada di Uhud, kisah peperangan Uhud terasa lebih membuat merinding, apalagi setelah dikisahkan lagi oleh Ustad Yono Waryono, pembimbing kami di KBIH Lampu Iman.

5. Haji sebagai refleksi diri

Ibadah Haji, memang ibadah yang personal. Apa yang terjadi selama haji, hanya Allah dan dirinya yang mengetahui. Banyak yang bilang, apa yang terjadi selama di tanah suci adalah gambaran perbuatan orang tersebut selama di dunia. Kalau sering mendengar cerita-cerita “unik” selama haji, mungkin itu memang benar adanya, meskipun saya tidak mendengarnya dari sumbernya langsung. Ada cerita jemaah haji yang sudah sampai ke Masjidil Haram tapi tidak bisa lihat ka’bah; ada cerita jemaah haji yang setelah sampai tanah suci menghilang dan tidak terlihat beribadah, baru kembali lagi setelah rombongannya mau pulang ke tanah air; ada juga Jemaah haji yang terpisah dari rombongan tanpa identitas, dan ia mendadak amnesia, lupa siapa dirinya dan nomor maktab, hanya ingat nomor telepon rumahnya di Indonesia; dsb. Sebab dibaliknya wallahu a’lam hanya yang bersangkutan dan Allah yang tahu. Yang pasti yang terjadi itu menjadi refleksi dirinya dan apa yang dia lakukan sebelumnya.

6. Menjadi pasrah, hanya menggantungkan tujuan pada Allah

Ketika pergi ke sana ibaratnya kita meninggalkan kehidupan dunia kita, meninggalkan pekerjaan, rumah, harta, bahkan anak. Memasrahkan diri pada Allah, yaa Allah saya mau beribadah haji, saya titipkan urusan dunia saya padaMu, termasuk anak. Paling berat tentunya meninggalkan anak, apalagi saya berpisah dengan anak anak. Tidak bisa diucapkan dengan kata kata. Pikiran saya adalah: Apapun yang terjadi di sana, bagaimana Allah saja, pokoknya saya pasrah, hanya berharap pada Allah. Tapi pasrah juga bukan berarti tanpa ilmu dan persiapan, Sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.” (QS. Al-Baqarah: 197)

Wallahu a’lam. Semoga bermanfaat. Semoga semua yang berniat untuk berangkat haji dikuatkan dan dimudahkan langkahnya. Semoga kami masih ada rezeki dan umur panjang untuk kembali lagi ke Baitullah, Aamiin !



Drs. H. Agus Setiawan, M.Pd alumni haji Lampu Iman tahun 2019 / 1441 H KB. Ash-Shaalihiin

#kbihu , #kbihukarawang, #kbihkarawang, #karawang, #haji, #umrah